Menolak Lupa - Asal Usul Nama Tanjungpura
Kerajaan Matan - Tanjungpura
Kerajaan
Matan atau Tanjungpura merupakan kerajaan tertua di provinsi Kalimantan Barat
tepatnya di Simpang – Matan Kabupaten Ketapang. Kejayaan Kerajaan ini pada abad
ke-14 menjadi bukti bahwa peradaban negeri Tanah Kayong sudah cukup maju pada
masa lalu. Tanjungpura adalah provinsi Singhasari yang semula bernama
Bakulapura. Nama bakula berasal dari bahasa Sansekerta artinya pohon tanjung (Mimusops alengi), sehingga Bakulapura
mendapat nama Melayu menjadi Tanjungpura. Wilayah kekuasaan Tanjungpura dari
Dato (Sambas) sampai Tanjung Puting yaitu mencakup Provinsi Kalimantan Barat
dan sebagian Kalimantan Tengah.
Kemudian
Tanjungpura menjadi sebuah provinsi Majapahit, lalu nama Tanjungpura menjadi
umum untuk sebutan pulau Kalimantan. Setelah mangkatnya Gajah Mada kemungkinan
ibukota pulau Tanjungpura berada di Kalimantan Selatan sebagai pangkalan yang
lebih strategis utuk menguasai wilayah lebih luas lagi. Sumber yang menyatakan tentang keberadaan
Kerajaan Tanjungpura dapat dibaca dalam Negarakertagama karangan Mpu Prapanca
pada masa Kertanegara (1268—1292) dari Singosari dan pada masa Kerajaan
Majapahit dengan Sumpah Palapa Patih Mangkubumi Gajah Mada (Gusti Mhd. Mulia
[ed.], 2007:1).
Menurut
Hikayat Banjar, kerajaan di Kalimantan Selatan saat itu yaitu Negara Dipa sudah
memiliki pengaruh luas membentang dari Kerajaan Sambas hingga Karasikan (Kerajaan Tidung) di perbatasan Kalimantan Timur - Sabah dengan rajanya seorang
dara ketika ia mulai memerintah yaitu Putri Junjung Buih/Raden Galuh
Ciptasari/Putri Ratna Janggala-Kadiri. Putri Junjung Buih (Bhre Tanjungpura I) digantikan oleh
puteranya yang urutan ketiga bernama Pangeran Aria Dewangsa (Bhre Tanjungpura
II). Raden Sekar Sungsang putera Pangeran Aria Dewangsa (Bhre Tanjungpura III) memindahkan ibukota ke hilir dengan nama kerajaan Negara Daha. Ketika
merantau ke Giri, Raden Sekar Sungsang
mulai mengena agama Islam dan menjadi besan Sunan Giri kemudian ia mendapat
gelar Panji Agung Rama Nata. Menurut Pararaton, Bhre Tanjungpura bernama
Mangalawardhani Dyah Suragharini yang berkuasa 1429-1464, dia menantu Bhre
Tumapel II (abangnya Suhita). Bhre Tanjungpura bernama Tumapel III
Kertawijaya. Kemudian dalam Prasasti Trailokyapuri disebutkan Manggalawardhani
Dyah Suragharini menjaba Bhre Daha VI (1464-1474). Di dalam mandala Majapahit,
Ratu Majapahit merupakan prasada, sedangkan Madura dan Tanjungpura sebagai
ansa-nya.
Kerajaan Tanjungpura mengalami masa keemasan pada sekitar abad
ke-14. Kerajaan ini adalah kerajaan tertua di Tanah Kayong bahkan di Kalimantan
Barat. Nama Tanah Kayong digunakan untuk menyebut Ketapang yang terkenal
sebagai tanah asal orang-orang sakti. Ibukota Kerajaan Tanjungpura beberapa
kali mengalami perpindahan dari satu tempat ke tempat lainnya. Beberapa
penyebab Kerajaan Tanjungpura berpindah ibukota adalah terutama karena serangan
dari kawanan perompak (bajak laut)
atau dikenal sebagai “Lanon”. Dimasa itu gerombolan “Lanon” sangat kejam dan
meresahkan penduduk, serta sering
beralih pusat pemerintahan adalah demi mempertahankan diri karena sering
mendapat serangan dari kerajaan lain. Karena sering berpindah-pindah ibukota
Kerajaan Tanjungpura dapat dibuktikan dengan adanya situs sejarah yang
ditemukan di bekas ibukota - ibukota kerajaan tersebut.
Negeri
Baru di Ketapang merupakan salah satu tempat yang pernah dijadikan pusat
pemerintahan Kerajaan Tanjungpura. Dari Negeri Baru, ibukota Kerajaan
Tanjungpura berpindah ke Sukadana. Pada masa pemerintahan Sultan Muhammad
Zainuddin (1665−1724), pusat istana bergeser lagi, kali ini ditempatkan di
daerah Sungai Matan (Ansar Rahman, tt:110). Dari sinilah riwayat Kerajaan Matan
dimulai. Pusat pemerintahan kerajaan ini kemudian berpindah lagi yaitu pada tahun
1637 di wilayah Indra Laya. Indra Laya adalah nama dari suatu tempat di tepian
Sungai Puye, anak Sungai Pawan. Kerajaan Tanjungpura kembali beringsut ke
Kartapura, kemudian ke Desa Tanjungpura, dan terakhir pindah lagi ke Mulia Kerta
di mana Keraton Muhammad Saunan sekarang berdiri.
Setelah
raja pendiri kota Kerajaan Tanjungpura wafat dan dimakamkan di Kota Tanjungpura
, pemerintahannya dilanjutkan oleh Pangerang Perdana Menteri ( Pangeran Jaya
Anom ) ( 1833 – 1845 ). Tahun 1845, sebagai Pengganti Pangeran, Perdana Menteri
dinobatkanlah Haji Muhammad Sabran. Panembahan ini pulalah memindahkan pusat
pemerintahannya ke Mulia Kerta ( 1876 ).
Padanya diberkahi 3 putra dengan nama masing –
masing :
1 a. Gusti
Solihin bergelar Pangeraan Bendahara.
2 b. Uti
Mukhsin bergelar Pangeran Laksamana.
3 c. Gusti
Busrah bergelar Pangeran Ratu.
Semasa hidupnya, Penembahan Haji Sabran, telah
ditunjuk beliau putera mahkota Gusti Busrah sebagai penggantinya. Tetapi,
sebelum naik tahta Gusti Busrah meninggal secara misterius, sedangkan puteranya
Pangeran Mas masih belum dewasa. Pangeran Mas kemudian bergelar Panembahan
Saunan. Selama Pangeran Mas menambah ilmu keluar daerah, Pemerintahan dipegang
oleh Pangeran Laksaman Uti Mukhsin ( 1908 – 1924 ).
Sekembalinya dari luar daerah, Pangeran Mas
naik tahta dengan Gelar Panembahan Saunan. Beliau masih belum menikah. Keraton
diubahnya menurut apa yang dilihatnya dari daerah modern diwaktu itu. Keraton
tersebut masih berdiri hingga sekarang ini.
Kerajaan Matan diperintahnya sejak tahun 1924
– 1943. Pemerintahannya berakhir karena kekejaman Jepang. Salah seorang Raja
yang terhisap korban keganasan Jepang yang terkenal dengan sebutan “Penyungkupan”,
yaitu menggunakan kain berupa sarung menutupi kepala sampai mukanya. Tapi
keterangan banyak orang yang melihatnya, bahwa beliau tak sempat terbunuh oleh
Jepang, katanya pada detik – detik rencana pengakapan untuk jadi makanan pedang
samurai Jepang, beliau menghilang secara misterius pada malam hari.
Tahun 1945 – 1946 dikerajaan Matan diangkatlah
3 orang Pangeran untuk mengatur Pemerintahan yang telah tersusun sebagai berikut
:
1. Uti Halil diangkat menjadi Pangeran Mangku
Negara
2. Uti Aplah diangkat menjadi Pangeran Adipati
3. Uti Kencana diangkat menjadi Anom Laksamana
Kemudian ketiga orang tersebut menjadi anggota
majelis pemerintahan Kerajaan Matan.
Wilayah Kekuasaan
Wilayah Kerajaan
Tanjungpura yang menurunkan Kerajaan Sukadana, Kerajaan Matan, Kerajaan
Simpang-Matan, dan Kerajaan Kayong-Matan, cukup sulit dipetakan dengan pasti.
Seperti yang telah dipaparkan di atas, pusat pemerintahan Kerajaan Tanjungpura
beberapa kali mengalami perpindahan. Salah satu pusat pemerintahan Kerajaan
Tanjungpura adalah di Negeri Baru (disebut juga Benua Lama). Menurut beberapa
sejarawan, Kota Baru terletak di Ketapang, Kalimantan Barat. Kerajaan
Tanjungpura sering dikenal juga dengan nama Bakulapura dengan ibu negerinya di
Tanjungpuri (Mulia [ed.], 2007:5). Dari Negeri Baru, ibukota Kerajaan
Tanjungpura berpindah ke Sukadana hingga berdirinya kerajaan baru bernama
Kerajaan Sukadana.
Kerajaan
Sukadana telah merintis perluasan kekuasaannya pada masa pemerintahan
Panembahan Baroh (1548−1550) hingga ke daerah pedalaman Sungai Melano, yaitu
sampai ke sebuah desa bernama Desa Matan (sekarang bernama Desa Batu Barat)
yang kini termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Simpang Hilir, Kabupaten Kayong
Utara, Kalimantan Barat. Pengembangan wilayah kekuasaan ini adalah juga dalam
usaha mengembangkan agama Islam
yang telah masuk ke Sukadana. Perpindahan ini juga mempengaruhi arus
perpindahan penduduk Sukadana yang bermigrasi ke pedalaman, menyusuri tepian
Sungai Melano, Sungai Matan, Sungai Bayeh, dan bermukim di Kampung
Bukang, Banjor, Kembereh, Gerai, Kalam,
Simpang Dua, hingga ke daerah Balai berkuak.
Meskipun
pusat pemerintahan Kerajaan Sukadana telah dipindahkan ke Desa Matan sejak masa
kepemimpinan Panembahan Baroh, namun nama Kerajaan Matan baru dikenal pada era pemerintahan Sultan Muhammad Zainuddin
(1665-1724), yang menegaskan bahwa pusat kerajaan berada di daerah Sungai Matan
(Rahman, tt:110). Pada 1637, pusat pemerintahan Kerajaan Matan berpindah lagi,
kali ini ke Indra Laya yang terletak di Sungai Puye, anak Sungai Pawan.
Kemudian, kerajaan kembali berpindah ke Kartapura, kemudian baru ke Desa
Tanjungpura, dan terakhir pindah ke Muliakerta di mana Keraton Muhammad Saunan
sekarang berdiri.
Setelah
era pemerintahan Sultan Muhammad Jamaluddin (1762-1819), raja terakhir Dinasti
Matan, berakhir, pusat pemerintahan kerajaan dipindahkan ke wilayah bernama
Simpang, letaknya tidak seberapa jauh dari Matan, dan nama kerajaannya pun
berubah menjadi Kerajaan Simpang atau Kerajaan Simpang-Matan karena kerajaan
ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Matan. Sebelumnya, Kerajaan Kayong-Matan
sudah terlebih dulu berdiri sebagai akibat dari perpecahan internal Kerajaan
Matan. Maka kemudian disepakatilah pembagian wilayah antara Kerajaan Simpang - Matan
dan Kerajaan Kayong-Matan dengan batas Sungai Pawan. Sebelah kiri Sungai Pawan
adalah wilayah Kerajaan Simpang - Matan sementara wilayah Kerajaan Kayong - Matan
adalah di sebelah kanan sungai. Adapun batas-batas daratnya adalah sebagai
berikut:
- Di daerah Kubing Sei. Laur (Penggenting Asah).
- Di Desa Baya (Kematanan Agol).
- Di hulu Sei. Laur (Tembenang Pantap).
Nama
Simpang-Matan digunakan karena kerajaan ini berada di persimpangan dua sungai:
satu cabang teletak di sebelah kanan Sungai Matan, dan cabang lainnya berada di
sebelah kiri Sungai Pagu di Lubuk Batu. Jarak antara Kerajaan Simpang-Matan dan
Kerajaan Kayong-Matan cukup dekat, dapat ditempuh dalam waktu setengah hari.
Sistem Pemerintahan
Pendiri
Kerajaan Tanjungpura adalah Raja Brawijaya dari Majapahit. Dalam menjalankan
roda pemerintahan Kerajaan Tanjungpura, Raja Brawijaya dibantu oleh lima
saudaranya yang masing-masing didaulat mengampu lima suku dengan pangkat,
tugas, serta wewenang yang berbeda. Pertama adalah Maya Agung yang bertugas
menerima setiap utusan yang datang ke kerajaan. Maya Agung merupakan hulubalang
pertama atau bertindak sebagai wakil raja yang diberi kewenenangan menangani
urusan-urusan besar, termasuk perang dan menggelar upacara penobatan raja.
Kedua adalah Mengkalang yang bertugas menangani hal-hal yang tidak bisa
dilakukan raja dan Maya Agung. Suku ketiga dinamakan Priyayi atau Rerahi Muka
Raja yang menjalankan fungsinya sebagai pengisi kekosongan pemerintahan ketika
raja wafat dan belum ada penggantinya. Suku keempat adalah Siring yang menjadi
pengiring raja dan pemegang pusaka raja. Terakhir adalah suku Mambal dengan
tugas sebagai penambal urusan-urusan raja, istana, adat, dan sarana-sarana yang
rusak. Kelima suku inilah yang berhak untuk menyelenggarakan prosesi
pengangkatan dan penobatan raja (Mulia [ed.], 2007:9).
Ketika
Kerajaan Tanjungpura berganti nama menjadi Kerajaan Sukadana, ajaran Islam
mulai masuk dan perlahan-lahan menggeser agama Buddha yang menjadi keyakinan
Brawijaya pada era Kerajaan Tanjungpura, kendati keluarga kerajaan belum
memeluk Islam. Perkembangan ajaran Islam yang dibawa pedagang-pedagang Arab
dari Palembang pada permulaan tahun 1500 bertambah pesat pada masa pemerintahan
Panembahan Baroh, meski raja ini juga belum memeluk Islam.
Pada
masa ini, penyebutan raja mulai diganti dengan gelar gusti. Gelar di lingkungan
kerajaan bukanlah menunjukkan kasta/kelas sosial, namun cenderung merujuk pada
ikatan kekerabatan yang menganut garis laki-laki atau dari keturunan bapak
(patriarki). Sementara, panembahan pertama yang memeluk agama Islam adalah Giri
Kesuma atau Gusti Aliuddin atau Panembahan Sorgi (1590−1604) yang menggantikan
Panembahan Baroh. Pada masa inilah, keberadaan calon Kerajaan Matan sudah merintis pondasi dan
sudah mulai berperan di samping sisa-sisa kerajaan sebelumnya, yaitu Kerajaan
Sukadana, yang masih berdiri (De Graaf & Pigeaud, 1989:172).
Memasuki
pertengahan abad ke-18, penjajah Belanda mulai turut campur dalam pemerintahan
kerajaan pada masa Sultan Muhammad Jamaluddin yang menjadi raja terakhir
Kerajaan Matan sebelum mendirikan Kerajaan Simpang-Matan, sementara Kerajaan
Kayong-Matan berdiri di bawah pimpinan Gusti Irawan dengan gelar Sultan
Mangkurat. Belanda mulai membangun tangsi-tangsi militer di wilayah Kerajaan
Simpang-Matan serta menjadikan daerah Sukadana sebagai basis kekuatan dan
pertahanannya dalam menguasai daerah-daerah pantai selatan di Kalimantan Barat.
Perkembangan
selanjutnya adalah Belanda kemudian mengadakan perjanjian dengan Sultan
Simpang-Matan dengan kedok menawarkan jasa kepada Sultan untuk mengurusi
wilayah Kerajaan Simpang-Matan yang terlalu luas. Tawaran ini diterima oleh
Sultan Muhammad Jamaluddin hingga akhirnya Belanda berhasil menguasai Kerajaan
Simpang-Matan. Sejak saat itu, pengaruh Belanda semakin kuat dan selalu
mencampuri urusan-urusan internal kerajaan kendati beberapa kali terjadi
perlawanan dari orang-orang kerajaan untuk menangkal pengaruh Belanda, seperti
perlawanan Gusti Panji bergelar Panembahan Suryaningrat (raja keempat Kerajaan
Simpang-Matan), Patih Kampung Sepuncak (Hulubalang I), Uti Usma, Gusti Muhammad
Shalehan, Gusti Hamzah, dan lain-lainnya.
Pada
era pendudukan militer Jepang yang menggusur kolonialisme Belanda sejak tahun
1942, rakyat serumpun Kerajaan Matan mengalami masa-masa mencekam akibat
kekejaman Jepang. Tanggal 23 April 1943, Jepang menangkap raja-raja di
Kalimantan Barat dan nyaris semuanya dibunuh. Gusti Mesir, Sultan Kerajaan
Simpang-Matan beruntung dapat lolos dari pembunuhan massal itu. Akan tetapi,
nasib tragis menimpa Gusti Muhammad Saunan, yang memimpin Kerajaan Kayong-Matan
sejak tahun 1922. Panembahan Matan terakhir ini meninggal dunia tahun 1943
sebagai korban fasisme Jepang (Rahman, 2000:22).
Setelah
Indonesia menyatakan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945, wilayah yang semula
di bawah kuasa kerajaan dihimpun dalam suatu daerah pemerintahan yang disebut
swapraja dan dibentuklah suatu majelis yang bernama Majelis Pemerintahan
Kerajaan Matan (MPKM) sebagai pengampu pemerintahan adat. Pada akhirnya,
seiring dengan terbentuknya pemerintahan di daerah-daerah pascapenyerahan
kedaulatan dari Belanda ke pemerintah Republik Indonesia tahun 1949, wilayah
kerajaan ini dilebur dan diserahterimakan kepada Pemerintah Daerah Kalimantan
Barat dengan dihapuskannya swapraja berdasarkan Undang-Undang No. 27 tahun 1959
tertanggal 4 Juli 1959, dan Instruksi Gubernur Kepala Daerah Provinsi Kalimantan
Barat tertanggal 29 Februari 1960 No.376/Pem-A/16. (Iswara NR/Krj/02/07-2009).
Setelah
Sultan Muhammad Zainuddin lengser, pemerintahan Kerajaan Matan diteruskan oleh
putranya yang bernama Gusti Kesuma Bandan dan bergelar Sultan Muhammad
Muazzuddin yang memerintah pada kurun 1724−1738. Sultan Muhammad Muazzuddin
memiliki tiga orang putra, yaitu Gusti Bendung, Gusti Irawan, dan Gusti Muhammad Ali. Ketika Sultan Muhammad Muazzuddin wafat,
ditunjuklah Gusti Bendung atau Pangeran Ratu Agung sebagai penerus tahta
Kerajaan Matan dengan gelar Sultan Muhammad Tajuddin (1738−1749). Sementara
anak kedua Sultan Muhammad Muazzuddin, yaitu Gusti Irawan, menjadi raja di
Kayong (Muliakerta) dengan gelar Sultan Mangkurat yang membawahi Kerajaan
Kayong-Matan (sering pula disebut sebagai Kerajaan Tanjungpura II).
Pada
kurun berikutnya (1749−1762), pemerintahan Matan dipegang oleh anak tertua dari
Sultan Muhammad Tajuddin yaitu Sultan Ahmad Kamaluddin yang bernama asli Gusti
Kencuran (Mulia [ed.], 2007:24). Terakhir, tahta kuasa Kerajaan Matan
diturunkan kepada Gusti Asma yang bergelar Sultan Muhammad Jamaluddin
(1762−1819). Sultan inilah yang menjadi raja pamungkas Dinasti Matan karena
setelah itu pusat pemerintahan dipindahkan ke wilayah bernama Simpang yang
letaknya tidak seberapa jauh dari Matan, dan nama kerajaannya pun berubah
menjadi Kerajaan Simpang atau sering pula dikenal sebagai Kerajaan
Simpang-Matan, karena kerajaan ini merupakan kelanjutan dari Kerajaan Matan.
Dengan demikian, terdapat dua kerajaan yang menyandang nama Matan, yaitu Kerajaan Simpang - Matan di bawah komando Sultan Muhammad Jamaludin, dan Kerajaan Kayong - Matan yang dipimpin oleh Gusti Irawan atau Sultan Mangkurat. Jika diurutkan, terdapat beberapa kerajaan yang merupakan keturunan dari Kerajaan Tanjungpura, yaitu Kerajaan Sukadana, Kerajaan Matan, Kerajaan Simpang - Matan, serta Kerajaan Kayong-Matan. Diantara kerajaan-kerajaan tersebut masih terjalin hubungan kekerabatan yang cukup erat kendati masih sering terjadi pasang surut karena beberapa sebab perselisihan dan campur tangan penjajah Belanda.
0 komentar